Yogyakarta
merupakan pusat kebudayaan Jawa seperti tarian, lukisan, wayang kulit,
musk gamelan, hingga kesenian lainnya. Selain kesenian tradisional ada
pula seni kontemporer yang dimajukan oleh ASRI (Akademi Seni Rupa) yang
memiliki nilai penting dalam perkembangan seni likus modern di
Indonesia, contohnya saja pelukis abstrak Affandi.
Yogyakarta
adalah kota yang padat penduduk dan merupakan pintu gerbang untuk
mencapai tengah pulau Jawa. Yogyakarta juga dapat ditempuh oleh segala
alat transportasi, dari bus, kereta api, dan pesawat.
Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta
(disingkat dengan Jogja), merupakan salah satu dari 34 propinsi di
Indonesia. Propinsi ini dibagi menjadi 5 daerah tingkat II, Kotamadia
Yogyakarta, Kabupaten Bantul, Kabupaten Sleman, Kabupaten Kulon Progo,
dan Kabupaten Gunung Kidul.
Saat pertama kali didirikan oleh
Pangeran Mangkubumi pada saat itu, Yogyakarta bernama Ngayogyakarto
Hadiningrat. Luas Yogyakarta sekitar 3.186 km persegi, dengan total
penduduk 3.226.443 (Statistik Desember 1997). Semula Yogyakarta
merupakan bagian dari Kerajaan Mataram namun, mulai 1755 Kerajaan
Mataram dibagi menjadi Yogyakarta dan Surakarta(Solo). Keraton
Yogyakarta memegang kebudayaan murni di tengah modernisasi selama
berabad-abad.
Berdirinya Kota Yogyakarta
berawal dari adanya Perjanjian Gianti pada Tanggal 13 Februari 1755
yang ditandatangani Kompeni Belanda di bawah tanda tangan Gubernur
Nicholas Hartingh atas nama Gubernur Jendral Jacob Mossel. Isi
Perjanjian Gianti : Negara Mataram dibagi dua : Setengah masih menjadi
Hak Kerajaan Surakarta, setengah lagi menjadi Hak Pangeran Mangkubumi.
Dalam perjanjian itu pula Pengeran Mangkubumi diakui menjadi Raja atas
setengah daerah Pedalaman Kerajaan Jawa dengan Gelar Sultan Hamengku
Buwono Senopati Ing Alega Abdul Rachman Sayidin Panatagama
Khalifatullah.
Adapun daerah-daerah yang menjadi kekuasaannya
adalah Mataram (Yogyakarta), Pojong, Sukowati, Bagelen, Kedu, Bumigede
dan ditambah daerah mancanegara yaitu; Madiun, Magetan, Cirebon, Separuh
Pacitan, Kartosuro, Kalangbret, Tulungagung, Mojokerto, Bojonegoro,
Ngawen, Sela, Kuwu, Wonosari, Grobogan.
Setelah selesai
Perjanjian Pembagian Daerah itu, Pengeran Mangkubumi yang bergelar
Sultan Hamengku Buwono I segera menetapkan bahwa Daerah Mataram yang ada
di dalam kekuasaannya itu diberi nama Ngayogyakarta Hadiningrat dan
beribukota di Ngayogyakarta (Yogyakarta). Ketetapan ini diumumkan pada
tanggal 13 Maret 1755.
Tempat yang dipilih menjadi ibukota dan
pusat pemerintahan ini ialah Hutan yang disebut Beringin, dimana telah
ada sebuah desa kecil bernama Pachetokan, sedang disana terdapat suatu
pesanggrahan dinamai Garjitowati, yang dibuat oleh Susuhunan Paku Buwono
II dulu dan namanya kemudian diubah menjadi Ayodya. Setelah penetapan
tersebut diatas diumumkan, Sultan Hamengku Buwono segera memerintahkan
kepada rakyat membabad hutan tadi untuk didirikan Kraton.
Sebelum
Kraton itu jadi, Sultan Hamengku Buwono I berkenan menempati
pasanggrahan Ambarketawang daerah Gamping, yang tengah dikerjakan juga.
Menempatinya pesanggrahan tersebut resminya pada tanggal 9 Oktober 1755.
Dari tempat inilah beliau selalu mengawasi dan mengatur pembangunan
kraton yang sedang dikerjakan.
Setahun kemudian Sultan Hamengku
Buwono I berkenan memasuki Istana Baru sebagai peresmiannya. Dengan
demikian berdirilah Kota Yogyakarta atau dengan nama utuhnya ialah
Negari Ngayogyakarta Hadiningrat. Pesanggrahan Ambarketawang
ditinggalkan oleh Sultan Hamengku Buwono untuk berpindah menetap di
Kraton yang baru. Peresmian mana terjadi Tanggal 7 Oktober 1756
Kota
Yogyakarta dibangun pada tahun 1755, bersamaan dengan dibangunnya
Kerajaan Ngayogyakarta Hadiningrat oleh Sri Sultan Hamengku Buwono I di
Hutan Beringin, suatu kawasan diantara sungai Winongo dan sungai Code
dimana lokasi tersebut nampak strategi menurut segi pertahanan keamanan
pada waktu itu
Sesudah Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945, Sri
Sultan Hamengku Buwono IX dan Sri Paduka Paku Alam VIII menerima piagam
pengangkatan menjadi Gubernur dan Wakil Gubernur Propinsi DIY dari
Presiden RI, selanjutnya pada tanggal 5 September 1945 beliau
mengeluarkan amanat yang menyatakan bahwa daerah Kesultanan dan daerah
Pakualaman merupakan Daerah Istimewa yang menjadi bagian dari Republik
Indonesia menurut pasal 18 UUD 1945. Dan pada tanggal 30 Oktober 1945,
beliau mengeluarkan amanat kedua yang menyatakan bahwa pelaksanaan
Pemerintahan di Daerah Istimewa Yogyakarta akan dilakukan oleh Sri
Sultan Hamengkubuwono IX dan Sri Paduka Paku Alam VIII bersama-sama
Badan Pekerja Komite Nasional
Meskipun Kota Yogyakarta baik yang
menjadi bagian dari Kesultanan maupun yang menjadi bagian dari
Pakualaman telah dapat membentuk suatu DPR Kota dan Dewan Pemerintahan
Kota yang dipimpin oleh kedua Bupati Kota Kasultanan dan Pakualaman,
tetapi Kota Yogyakarta belum menjadi Kota Praja atau Kota Otonom, sebab
kekuasaan otonomi yang meliputi berbagai bidang pemerintahan massih
tetap berada di tangan Pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta.
Kota
Yogyakarta yang meliputi daerah Kasultanan dan Pakualaman baru menjadi
Kota Praja atau Kota Otonomi dengan lahirnya Undang-Undang Nomor 17
Tahun 1947, dalam pasal I menyatakan bahwa Kabupaten Kota Yogyakarta
yang meliputi wilayah Kasultanan dan Pakualaman serta beberapa daerah
dari Kabupaten Bantul yang sekarang menjadi Kecamatan Kotagede dan
Umbulharjo ditetapkan sebagai daerah yang berhak mengatur dan mengurus
rumah tangganya sendiri. Daerah tersebut dinamakan Haminte Kota
Yogyakaarta.
Untuk melaksanakan otonomi tersebut Walikota pertama
yang dijabat oleh Ir.Moh Enoh mengalami kesulitan karena wilayah
tersebut masih merupakan bagian dari Daerah Istimewa Yogyakarta dan
statusnya belum dilepas. Hal itu semakin nyata dengan adanya
Undang-undang Nomor 22 Tahun 1948 tentang Pokok-pokok Pemerintahan
Daerah, di mana Daerah Istimewa Yogyakarta sebagai Tingkat I dan
Kotapraja Yogyakarta sebagai Tingkat II yang menjadi bagian Daerah
Istimewa Yogyakarta.
Selanjutnya Walikota kedua dijabat oleh
Mr.Soedarisman Poerwokusumo yang kedudukannya juga sebagai Badan
Pemerintah Harian serta merangkap menjadi Pimpinan Legislatif yang pada
waktu itu bernama DPR-GR dengan anggota 25 orang. DPRD Kota Yogyakarta
baru dibentuk pada tanggal 5 Mei 1958 dengan anggota 20 orang sebagai
hasil Pemilu 1955.
Dengan kembali ke UUD 1945 melalui Dekrit
Presiden 5 Juli 1959, maka Undang-undang Nomor 1 Tahun 1957 diganti
dengan Undang-undang Nomor 18 Tahun 1965 tentang pokok-pokok
Pemerintahan di Daerah, tugas Kepala Daerah dan DPRD dipisahkan dan
dibentuk Wakil Kepala Daerah dan badan Pemerintah Harian serta sebutan
Kota Praja diganti Kotamadya Yogyakarta.
Atas dasar Tap MPRS
Nomor XXI/MPRS/1966 dikeluarkan Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang
Pokok-pokok Pemerintahan di Daerah. Berdasarkan Undang-undang
tersebut, DIY merupakan Propinsi dan juga Daerah Tingkat I yang dipimpin
oleh Kepala Daerah dengan sebutan Gubernur Kepala Daerah Istimewa
Yogyakarta dan Wakil Gubernur Kepala Daerah Istimewa Yogyakarta yang
tidak terikat oleh ketentuan masa jabatan, syarat dan cara pengankatan
bagi Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah lainnya, khususnya bagi
beliiau Sri Sultan Hamengku Buwono IX dan Sri Paduka Paku Alam VIII.
Sedangkan Kotamadya Yogyakarta merupakan daerah Tingkat II yang dipimpin
oleh Walikotamadya Kepala Daerah Tingkat II dimana terikat oleh
ketentuan masa jabatan, syarat dan cara pengangkatan bagi kepala Daerah
Tingkat II seperti yang lain.
Seiring dengan bergulirnya era
reformasi, tuntutan untuk menyelenggarakan pemerintahan di daerah secara
otonom semakin mengemuka, maka keluarlah Undang-undang No.22 Tahun 1999
tentang Pemerintahan Daerah yang mengatur kewenangan Daerah
menyelenggarakan otonomi daerah secara luas,nyata dan bertanggung jawab.
Sesuai UU ini maka sebutan untuk Kotamadya Dati II Yogyakarta diubah
menjadi Kota Yogyakarta sedangkan untuk pemerintahannya disebut denan
Pemerintahan Kota Yogyakarta dengan Walikota Yogyakarta sebagai Kepala
Daerahnya.
Referensi :
http://www.jogjakota.go.id/index/extra.detail/21
http://id.shvoong.com/humanities/history/1947170-sejarah-yogyakarta/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar