Sejarah dan Penemu Kamera
Kamera merupakan salah satu penemuan
penting yang dicapai umat manusia. Lewat jepretan dan bidikan kamera,
manusia bisa merekam dan mengabadikan beragam bentuk gambar mulai dari
sel manusia hingga galaksi di luar angkasa. Teknologi
pembuatan kamera, kini dikuasai peradaban Barat serta Jepang. Sehingga,
banyak umat Muslim yang meyakini kamera berasal dari peradaban Barat.
Jauh
sebelum masyarakat Barat menemukannya, prinsip-prinsip dasar pembuatan
kamera telah dicetuskan seorang sarjana Muslim sekitar 1.000 tahun
silam. Peletak prinsip kerja kamera itu adalah seorang saintis
legendaris Muslim bernama Ibnu al-Haitham. Pada akhir abad ke-10 M,
al-Haitham berhasil menemukan sebuah kamera obscura.
Itulah salah
satu karya al-Haitham yang paling menumental. Penemuan yang sangat
inspiratif itu berhasil dilakukan al-Haithan bersama Kamaluddin
al-Farisi. Keduanya berhasil meneliti dan merekam fenomena kamera
obscura. Penemuan itu berawal ketika keduanya mempelajari gerhana
matahari. Untuk mempelajari fenomena gerhana, Al-Haitham membuat lubang
kecil pada dinding yang memungkinkan citra matahari semi nyata
diproyeksikan melalui permukaan datar.
Kajian ilmu optik berupa
kamera obscura itulah yang mendasari kinerja kamera yang saat ini
digunakan umat manusia. Oleh kamus Webster, fenomena ini secara harfiah
diartikan sebagai ”ruang gelap”. Biasanya bentuknya berupa kertas kardus
dengan lubang kecil untuk masuknya cahaya. Teori yang dipecahkan
Al-Haitham itu telah mengilhami penemuan film yang kemudiannya
disambung-sambung dan dimainkan kepada para penonton.
“Kamera
obscura pertama kali dibuat ilmuwan Muslim, Abu Ali Al-Hasan Ibnu
al-Haitham, yang lahir di Basra (965-1039 M),” ungkap Nicholas J Wade
dan Stanley Finger dalam karyanya berjudul The eye as an optical
instrument: from camera obscura to Helmholtz’s perspective.
Dunia
mengenal al-Haitham sebagai perintis di bidang optik yang terkenal
lewat bukunya bertajuk Kitab al-Manazir (Buku optik). Untuk membuktikan
teori-teori dalam bukunya itu, sang fisikawan Muslim legendaris itu
lalu menyusun Al-Bayt Al-Muzlim atau lebih dikenal dengan sebutan
kamera obscura, atau kamar gelap.
Bradley Steffens dalam
karyanya berjudul Ibn al-Haytham:First Scientist mengungkapkan bahwa
Kitab al-Manazir merupakan buku pertama yang menjelaskan prinsip kerja
kamera obscura. “Dia merupakan ilmuwan pertama yang berhasil
memproyeksikan seluruh gambar dari luar rumah ke dalam gambar dengan
kamera obscura,” papar Bradley.
Istilah kamera
obscura yang ditemukan al-Haitham pun diperkenalkan di Barat sekitar
abad ke-16 M. Lima abad setelah penemuan kamera obscura, Cardano
Geronimo (1501 -1576), yang terpengaruh pemikiran al-Haitham mulai
mengganti lobang bidik lensa dengan lensa (camera).
Setelah itu,
penggunaan lensa pada kamera onscura juga dilakukan Giovanni Batista
della Porta (1535-1615 M). Ada pula yang menyebutkan bahwa istilah
kamera obscura yang ditemukan al-Haitham pertama kali diperkenalkan di
Barat oleh Joseph Kepler (1571 – 1630 M). Kepler meningkatkan fungsi
kamera itu dengan menggunakan lensa negatif di belakang lensa positif,
sehingga dapat memperbesar proyeksi gambar (prinsip digunakan dalam
dunia lensa foto jarak jauh modern).
Setelah itu, Robert Boyle
(1627-1691 M), mulai menyusun kamera yang berbentuk kecil, tanpa kabel,
jenisnya kotak kamera obscura pada 1665 M. Setelah 900 tahun dari
penemuan al-Haitham pelat-pelat foto pertama kali digunakan secara
permanen untuk menangkap gambar yang dihasilkan oleh kamera obscura.
Foto permanen pertama diambil oleh Joseph Nicephore Niepce di Prancis
pada 1827.
Tahun 1855, Roger Fenton menggunakan plat kaca negatif
untuk mengambil gambar dari tentara Inggris selama Perang Crimean. Dia
mengembangkan plat-plat dalam perjalanan kamar gelapnya – yang
dikonversi gerbong. Tahun 1888, George Eastman mengembangkan prinsip
kerja kamera obscura ciptaan al-Hitham dengan baik sekali. Eastman
menciptakan kamera kodak. Sejak itulah, kamera terus berubah mengikuti
perkembangan teknologi.
Sebuah versi kamera obscura digunakan
dalam Perang Dunia I untuk melihat pesawat terbang dan pengukuran
kinerja. Pada Perang Dunia II kamera obscura juga digunakan untuk
memeriksa keakuratan navigasi perangkat radio. Begitulah penciptaan
kamera obscura yang dicapai al-Haitham mampu mengubah peradaban dunia.
Peradaban
dunia modern tentu sangat berutang budi kepada ahli fisika Muslim yang
lahir di Kota Basrah, Irak. Al-Haitham selama hidupnya telah menulis
lebih dari 200 karya ilmiah. Semua didedikasikannya untuk kemajuan
peradaban manusia. Sayangnya, umat Muslim lebih terpesona pada
pencapaian teknologi Barat, sehingga kurang menghargai dan mengapresiasi
pencapaian ilmuwan Muslim di era kejayaan Islam.
Sejarah Sang Penemu Kamera Obscura
Tahukah
Anda, kata kamera yang digunakan saat ini berasal dari bahasa Arab,
yakni qamara ? Istilah itu muncul berkat kerja keras al-Hatham. Bapak
fisika modern itu terlahir dengan nama Abu Ali al-Hasan Ibnu al-Hasan
Ibnu al-Haitham di Kota Basrah, Persia, saat Dinasti Buwaih dari Persia
menguasai Kekhalifahan Abbasiyah.
Sejak kecil al-Haitham ydikenal
berotak encer. Ia menempuh pendidikan pertamanya di tanah
kelahirannya. Beranjak dewasa ia merintis kariernya sebagai pegawai
pemerintah di Basrah. Namun, Al-Haitham lebih tertarik untuk menimba
ilmu dari pada menjadi pegawai pemerintah. Setelah itu, ia merantau ke
Ahwaz dan metropolis intelektual dunia saat itu yakni kota Baghdad. Di
kedua kota itu ia menimba beragam ilmu. Ghirah keilmuannya yang tinggi
membawanya terdampar hingga ke Mesir.
Al-Haitham pun sempat
mengenyam pendidikan di Universitas al-Azhar yang didirikan Kekhalifahan
Fatimiyah. Setelah itu, secara otodidak, ia mempelajari hingga
menguasai beragam disiplin ilmu seperti ilmu falak, matematika,
geometri, pengobatan, fisika, dan filsafat.
Secara serius dia
mengkaji dan mempelajari seluk-beluk ilmu optik. Beragam teori tentang
ilmu optik telah dilahirkan dan dicetuskannya. Dialah orang pertama yang
menulis dan menemukan pelbagai data penting mengenai cahaya. Konon, dia
telah menulis tak kurang dari 200 judul buku.
Dalam salah satu
kitab yang ditulisnya, Alhazen – begitu dunia Barat menyebutnya – juga
menjelaskan tentang ragam cahaya yang muncul saat matahari terbenam. Ia
pun mencetuskan teori tentang berbagai macam fenomena fisik seperti
bayangan, gerhana, dan juga pelangi.
Keberhasilan lainnya yang
terbilang fenomenal adalah kemampuannya menggambarkan indra penglihatan
manusia secara detail. Tak heran, jika ‘Bapak Optik’ dunia itu mampu
memecahkan rekor sebagai orang pertama yang menggambarkan seluruh detil
bagian indra pengelihatan manusia. Hebatnya lagi, ia mampu menjelaskan
secara ilmiah proses bagaimana manusia bisa melihat.
Teori yang
dilahirkannya juga mampu mematahkan teori penglihatan yang diajukan dua
ilmuwan Yunani, Ptolemy dan Euclid. Kedua ilmuwan ini menyatakan bahwa
manusia bisa melihat karena ada cahaya keluar dari mata yang mengenai
objek. Berbeda dengan keduanya, Ibnu Haytham mengoreksi teori ini dengan
menyatakan bahwa justru objek yang dilihatlah yang mengeluarkan cahaya
yang kemudian ditangkap mata sehingga bisa terlihat.
Secara
detail, Al-Haitham pun menjelaskan sistem penglihatan mulai dari kinerja
syaraf di otak hingga kinerja mata itu sendiri. Ia juga menjelaskan
secara detil bagian dan fungsi mata seperti konjungtiva, iris, kornea,
lensa, dan menjelaskan peranan masing-masing terhadap penglihatan
manusia. Hasil penelitian Al-Haitham itu lalu dikembangkan Ibnu Firnas
di Spanyol dengan membuat kaca mata.
Dalam buku lainnya yang
diterjemahkan dalam bahasa Inggris berjudul Light On Twilight
Phenomena, al-Haitham membahas mengenai senja dan lingkaran cahaya di
sekitar bulan dan matahari serta bayang-bayang dan gerhana.
Menurut
Al-Haitham, cahaya fajar bermula apabila matahari berada di garis 19
derajat ufuk timur. Warna merah pada senja akan hilang apabila matahari
berada di garis 19 derajat ufuk barat. Ia pun menghasilkan kedudukan
cahaya seperti bias cahaya dan pembalikan cahaya.
Al-Haitham juga
mencetuskan teori lensa pembesar. Teori itu digunakan para saintis di
Italia untuk menghasilkan kaca pembesar pertama di dunia. Sayangnya,
hanya sedikit yang terisa. Bahkan karya monumentalnya, Kitab
al-Manazhir , tidak diketahui lagi keberadaannya. Orang hanya bisa
mempelajari terjemahannya yang ditulis dalam bahasa Latin.
Referensi:
http://tanbihun.com/sejarah/profil-ulama/camera-ditemukan-oleh-ilmuan-muslim/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar